7 Fakta Menyentuh Kasus Pelecehan Seksual oleh Dokter PPDS Unpad di RSHS Bandung

Seorang dokter dalam program magister spesialis Anestesi dari Universitas Padjadjaran dituduh telah melakukan perbuatan perkosaan terhadap anggota keluarga seorang pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung.

Tindakan keji itu terjadi dalam area rumah sakit melalui cara pemeriksaan kesehatan. Kejadian ini menimbulkan amarah masyarakat dan mengundang tanggapan keras dari sejumlah entitas seperti Unpad, RSHS, bahkan sampai Kementerian Kesehatan.

Berikut tujuh informasi krusial yang muncul dalam perkara tersebut.

1. Rincian Kejadian: Peristiwa Berlangsung Pada Subuh

Peristiwa tersebut terjadi di awal bulan Maret tahun 2025, lebih persisnya kira-kira pukul 01:00 waktu Indonesia Bagian Barat (WIB).

Pada saat tersebut, sang korban sedang merawat bapaknya yang dirawat di IGD dan mengharuskan adanya tranfusi darah.

Pelaku beralasan menginginkan pemeriksaan kecocokan darah (crossmatch) dan meminta korban untuk dipisahkan dibawa menuju lantai 7 di Gedung MCHC, RSHS.

"Tersangka mengharuskan korban FH diserahkan sampel darahnya dan dibawa dari area IGD menuju Gedung MCHC lantai 7 RSHS," jelas Kabid Humas Polda Jabar, Kombes Pol Hendra Rochmawan, seperti dilaporkan oleh Kompas.com pada hari Rabu (9/4/2025).

Setibanya di tingkat tujuh, korban dimintakan untuk mengganti pakaiannya dengan jas bedah. Kemudian pelaku memasang infus dan menyuntikkan cairan transparan ke dalamnya setelah menusuk tangan korban menggunakan jarum sebanyak lima belas kali. Akhirnya, korban pun hilang kesadarannya.

Setelah bangun kira-kira pukul 04.00 WIB, korban mengalami rasa nyeri di daerah sensitif ketika buang air kecil dan langsung memberi tahu keluarganya tentang insiden itu.

2. Korban yang Sadar dan Segera Menglaporkan Hingga Penangkapan Pelaku

Korban menyadarkan dirinya beberapa jam setelah itu dan diinformasikan agar kembali ke IGD.

Ketika sampai pada waktunya, dia mengerti bahwa sudah terbuang beberpa jam dan lalu memulai untuk menceritakannya kepada sang ibu.

Gejala fisik yang dirasakan oleh para korban, seperti sakit ketika buang air kecil, semakin menguatkan dugaan bahwa mereka telah menjadi mangsa dari tindak kekerasan seksual.

Keluarga tersebut kemudian mengajukan laporan ke Polda Jawa Barat.

Polda Jawa Barat segera mengambil tindakan atas laporan dari keluarga dan berhasil menangkap tersangka PAP pada tanggal 23 Maret 2025.

Kepala Direktorat Reskrimum Polda Jawa Barat, Kombes Surawan, mengkonfirmasi penahanan tersebut.

"Sudah diamankan sejak tanggal 23 Maret dan telah kita tertangkap," katanya (Kompas.com, 9/4/2025).

3. Unpad dan RSHS Mengambil Langkah Ketat

Universitas Padjadjaran serta pihak RSHS mengeluarkan pernyataan tegas mengecam segala bentuk kekerasan seksual yang terjadi dalam lingkungan pendidikan maupun layanan kesehatan mereka.

Kantor universitas pun mengumumkan bahwa tersangka sudah dihapus dari program PPDS.

"Sebagai tersangka adalah seorang PPDS yang disimpan di RSHS dan bukan pegawai RSHS, tindakan keras telah diterapkan oleh Unpad dengan mengakhiri keikutsertaannya dalam program PPDS," demikian tertulis dalam pernyataan resmi Unpad seperti dicatat dari Kompas.com.

4. Kemenkes Menghentikan Sementara Program PPDS Anastesi di RSHS

Sebagai tanggapan atas insiden tersebut, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) memutuskan untuk menangguhkan sementara program residensi PPDS Anestesiologi dan Terapi Intensif di RSHS Bandung selama satu bulan guna dilakukannya penilaian ulang terkait manajemen dan pemantauan.

"Ulasan dan peningkatan pemantauan serta manajemen bersama dengan FK Unpad akan dijalankan," jelas Aji Muhawarman, Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik dari Kemenkes RI.

Di samping itu, Kementerian Kesehatan sudah mengharapkan agar Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) mencabut Surat Tanda Registrasi (STR) dari Dokter Asisten Perawatan (PAP), sehingga secara otomatis akan membekukan hak mereka untuk berpraktik di bidang kesehatan.

5. Bimbingan dan Proteksi bagi Para Korban

Kemenkes bersama dengan Unpad dan RSHS menegaskan janji mereka dalam menjaga kerahasiaan pribadi serta menyediakan bantuan hukum bagi para korban.

"Sekarang ini, para korban telah menerima bantuan dari Satuan Layanan Perempuan dan Anak (PPA) Polri di Jawa Barat," jelas Azhar Jaya, Direktur Jenderal Kesehatan Lansia Kementerian Kesehatan.

6. Residen Digagalkan Masuk RSHS dan STRnya dicabut

Direktur Utama RSHS, Rachim Dinata Marsidi, menggarisbawahi bahwa PAP sudah dibuat dan terdaftar sebagai bagian dari daftar hitam di rumah sakit tersebut.

"Bukan ditambahkan ke daftar hitam, tapi malah dilepaskan. Tidak akan kembali bekerja di tempat ini," tegasnya dalam pernyataan resmi untuk para jurnalis.

Selanjutnya, Kementerian Kesehatan juga ikut campur.

Di luar mengutuk insiden tersebut dengan tegas, Departemen Kesehatan telah merujuk kepada Dewan Medis Indonesia (DMI) agar mencabut Surat Tanda Registrasi (STR) dari dokter PAP, sehingga secara langsung akan mencabut hak prakteknya.

7. Penyelidikan Dimulai dari Platform Media Sosial

Aslinya masalah ini menjadi sorotan publik ketika tangkapan layar dari chat WhatsApp menyebar luas di platform media sosial X tersebut.

Surat tersebut mengungkapkan tuduhan tentang perilaku kekerasan seksual yang dilakukan oleh dua dokter residensi anastesi dari Unpad terhadap anggota keluarga pasien, didukung dengan klaim adanya rekaman CCTV sebagai buktinya.

Walaupun begitu, sampai saat ini polisi hanya telah memastikan partisipasi satu orang tersangka saja, yaitu PAP.

( / Kompas.com )

Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Zodiak Beruntung Tanggal 10 April 2025: Cinta Pisces yang Menggoda

Jika Bertemu dengan Orang Sulit, Lakukan 5 Cara Sopan Ini untuk Tetap Tampil Baik

5 Destinasi Tersembunyi di Cianjur yang Patut Dikunjungi: Dari Pantai Jayanti hingga Curug Cikondang