Restoran Cepat Saji Tak Terima Uang Sebagai Bayar, BI: Bisa DikenaiPidana
- Insiden sebuah gerai makanan cepat saji yang menolak untuk menerima lembar uang sebesar Rp75.000 sebagai metode pembayaran menjadi viral di platform media sosial.
Pada awalnya, tampak seorang rekaman menggenggam dua lembar uang kertas senilai Rp75.000 di hadapan petugas kasir sebuah restoran cepat saji.
Dalam video tersebut, tampak dua lembar Rp75.000 diberikan kepada kasir untuk membayar pesanannya.
Petugas kasir itu sejenak mengambil uang yang diserahkan.
Tetapi setelah beberapa saat, kasir menyebutkan bahwa uang sebesar Rp75.000 tidak dapat diterima dan membalikkannya kepadanya.
"Tidak mungkin nih," ujar si kasir.
"Ah, tidak mungkin?" pertanyakan sang pengrekam untuk mengonfirmasinya.
Kasir tersebut mengulangi bahwa dana sebesar 75 ribu rupiah tidak dapat dipakai untuk transaksi.
Akhirnya sang koki memakai denominasi tunai yang berbeda untuk menyelesaikan transaksinya di kedai makanan cepat saji itu.
Transaksi menggunakan uang sebesar 75.000 ditolak di W*****, bunyi keterangan di video.
Apakah memang uang kertas dengan denominasiRp 75.000 sudah dilarang penggunaannya dalam bertransaksi?
Kepala Departemen Pengelolaan Uang Bank Indonesia, M Anwar Bashori berbicara.
Dia menyebutkan bahwa uang sebesar Rp75.000 tetap dapat diterima sebagai metode pembayaran yang valid.
Uang pecahan Rp75.000 yang dikenal dengan nama Uang Peringkat Kemerdekaan 75 Tahun Republik Indonesia (UPK 75) adalah jenis uang commemoratif atau uang perayaan.
Seperti ditetapkan dalam Pasal 12 Peraturan Bank Indonesia No. 22/11/PBI/2020, UPK 75 resmi menjadi alat bayar yang valid di semua area NKRI mulai 17 Agustus 2020,” ungkapnya pada hari Rabu (9/4/2025) dan dirilis oleh sumber tersebut. Kompas.com .
Dia menyebutkan bahwa hingga saat ini, Bank Indonesia belum menerapkan penghapusan atau pemulangan UPK 75 yang beredar.
Menurut Anwar, "Ini adalah sarana pembayaran yang bisa dipakai oleh publik untuk melakukan aktivitas jual-beli sehari-hari."
Bagaimana kalau menolak tawaran sebesar Rp75.000 itu?
Anwar menyebutkan bahwa seluruh komunitas tidak boleh menolak penerimaan uang sebesar Rp75.000 untuk digunakan dalam proses pembayaran atau transaksi.
Pasal 23 ayat (1) dari Undang-Undang No. 7 tahun 2011 mengenai Mata Uang, yang kemudian dimodifikasi melalui Undang-Undang No. 4 tahun 2023 tentang Pembinaan dan Pelemahan Sektoral Keuangan, menetapkan hal tersebut.
"Diatur bahwa dilarang bagi siapapun untuk menolak penerimaan Rupiah jika diserahkan sebagai bentuk pembayaran di dalam wilayah NKRI, kecuali apabila ada keraguan mengenai asli atau palsunya Rupiah," jelas Anwar.
Bagi orang yang menolak menerima uang sebesar Rp 75.000 itu, akan ada konsekuensi hukuman penjara serta denda.
Hukuman ini mengacu pada Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang No. 7 tahun 2011 tentang Mata Uang yang kemudian diperbaharui oleh Undang-undang No. 4 tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.
"Melanggar peraturan dalam Pasal 23 ayat (1) akan dihukum penjara selama maksimal satu tahun atau denda sebesar maksimum dua ratus juta rupiah," kata Anwar.
Sebaliknya, ditemukan kasus penyebaran uang palsu di Kabupaten Tuban, Jawa Timur.
Tersangka menyatakan bahwa dia membeli uang palsu sebesar Rp2 juta dan menerima Rp20 juta sebagai imbalannya.
Reskrime dari Polres Tuban berhasil mengamankan dua individu yang diduga sebagai distributor uang palsu dengan denominasi Rp100 ribu.
Mereka terdiri dari Andik Setiawan (30) yang berasal dari Desa Sembungan, Kecamatan Bancar, serta Andrino Eka Putra (41) yang berasal dari Desa Belikanget, Kecamatan Tambakboyo, Kabupaten Tuban.
Ipda Moh Rudi, KanitPidum Satreskrims di Polres Tuban, menyebutkan bahwa penemuan kasus peredaran mata uang palsu terjadi berdasarkan laporan warganya yang mendapatkan uang tiruan tersebut langsung dari pelaku utama.
Cara yang digunakan oleh tersangka adalah dengan sengaja mendistribusikan uang palsu dengan mengecapkannya di warung-warung kecil di area Kabupaten Tuban, khususnya di Kecamatan Bancar dan Tambakboyo.
"Mereka menggunakan strategi tersebut dengan menghabiskan uang palsu di toko-toko serba ada, dengan jumlah yang sedikit untuk menerima kembali uang sungguhan sebagai gantinya," jelas Ipda Moh Rudi pada hari Rabu (9/4/2025), sebagaimana dilaporkan oleh Kompas.com.
Para pelaku menyatakan bahwa mereka memperoleh uang fiktif berdenominasi Rp100.000 senilai Rp20 juta dari seorang individu di Kota Batu, Malang, dan membayarnya seharga Rp2 juta.
Pelaku telah mendistribusikannya sepanjang bulan Ramadhan, dan saat ini sisa uang palsunya mencapaiRp 3,1 juta.
Tindakan pelaku dikenai pasal sesuai dengan Pasal 36 Ayat 3 dalam Undang-Undang No. 7 tahun 2011 mengenai Uang Kertas.
"Ancaman hukumannya adalah 15 tahun kurungan dan denda senilai 50 miliar," katanya.
Mereka meminta masyarakat untuk segera memberitahukan pihak kepolisian jika menemui uang palsu atau mendeteksi perilaku mencurigakan di lingkungan mereka.
Minatnya dalam kisah Andik Setyawan terungkap ketika dia berani mendistribusikan uang fiktif lantaran diinspirasi oleh keinginan untuk membalas dendam pada bandar narkoba yang telah menipunya sebelumnya.
Saya sempat ditipu oleh seorang pedagang obat terlarang, sehingga uang saya tak dapat kembali.
Malahan sesudahnya, saya malah dibiarkan tergantung begitu saja, kemudian dia minta lagi uang tunai.
"Niatku adalah memberikannya padanya dalam bentuk uang palsu sebagai balas dendam supaya ia mengalami kerugian besar," katanya pada hari Selasa, 8 April 2025, ketika diwawancara oleh .
Lainnya informasi yang mendetail dan menggoda ada disini. Googlenews
Komentar
Posting Komentar