Cinta atau Keruntuhan? Pilih Jalan Anda

Pada suatu gambar yang ringkas tapi kaya akan pesan, digambarkanlah seorang pasangan muda sedang beristirahat bersama. Perempuan tersebut merengkuh lelakinya dengan cinta dan perhatian, di mana laki-laki itu tengah asyik memainkan telepon genggamnya. Sesaat setelahnya, dia pun berkata, “Hei, bisakah saya bangkit?” Tetapi sang wanita masih memeluk erat tanpa mau melepaskan diri. Gambar akhir ini mencerminkan situasi ironis; lelaki itu sudah seperti rangka tulang belulang saja, meski demikian ia tetap diselimuti oleh wanitanya, tak sadar bahwa waktu telah merusak tubuh kekasihnya secara perlahan.

Sketsa ini mencerminkan gambaran hubungan kontemporernya: kasih sayang yang timpang, kepemilikan yang merusak secara bertahap, serta ketidaksediaan untuk membebaskan orang yang disenangi. Laki-laki di cerita tersebut diperlihatkan sebagai individu yang acuh, terseret oleh alam maya sampai melupakan nilai dari hadirnya pasangan hidupnya. Tetapi begitu dia berusaha untuk meninggalkan semua itu, malah menjadi sulit baginya karena telah terjebak dalam belenggu yang sama sekali tak memberikannya celah lepas.

Sebaliknya, si perempuan melambangkan jenis cinta yang bersifat posesif. Dia merengkuh dengan kehangatan yang tidak terbatas, termasuk saat orang yang dirangkul sudah hanya menyisakan rangka tubuh saja. Hal ini merupakan sebuah metafora pedih mengenai cinta yang mandek sebab tiada lagi ruang bagi keduanya untuk tumbuh dan bernafas.

Seringkali kita membingunkan antara cinta dengan keintiman fisik yang tetap ada. Sebenarnya, dalam sebuah hubungan yang baik diperlukan ruang agar keduanya dapat berkembang bersama tanpa saling membungkus. Meski pelukan bisa membuat nyaman, jika terus-menerus sangat dekat justru akan menjadikan seseorang merasa tertekan dan sesak.

Ilustrasi ini pun menggarisbawahi pola hidup serta kebiasaan-kebiasaan yang kerapkali luput dari perhatian kita di dalam suatu hubungan. Wanita itu selalu merangkul sambil enggan sadar jika orang yang dirangkul tersebut sudah berbeda. Demikian jugalah halnya dengan kenyataan sehari-hari; ada banyak sepasang manusia yang meski masih tinggal serumah, akan tetapi kedekatan batin mereka telah usai lama. Keduanya tetap setia satu sama lain akibat rasa takut, kebiasaan, atau ketidaktahuan tentang caranya untuk melanjarkan.

Gambaran ini menegaskan bahwa kasih sayang tak sekadar melibatkan pemberian dan pengambilan, tetapi juga tentang pemahaman. Pemahaman akan waktu untuk semakin dekat atau memberikan ruang. Waktu untuk merengkuh erat atau melepaskan dengan lembut. Karena tanpa pengetahuan serta keseimbangan, kasih sayang malah bisa berubah menjadi bebannya satu sama lain yang terus-menerus menyakitkan.

Pada zaman digital ini, eksistensi nyata kerapkali diunggulkan oleh keberadaan maya. Lebih banyak waktu kita habiskan untuk melihat layar dibandingkan tatapan orang yang dicintai. Tanpa disadari, kita dapat berubah jadi mirip dengan laki-laki pada foto tersebut—menjalani hidup tanpa perhatian sampai akhirnya telat, atau bagaikan wanita itu—tetap merangkul hal-hal yang telah lenyap.

Ini seperti sebuah cermin. Mungkinkah kita tengah merengkuh seseorang yang sudah tak berisi? Atau malah kita sendiri yang hampa karena kekurangan ruang untuk bernapas? Cinta harus bisa memberikan nyawa. Dibutuhkan tempat, masa, dan pengertian. Sebab bila tidak demikian, maka kita cuma akan membentuk sebuah narasi pilu: satu pihak memeluk erat, sementara satunya lagi lenyap dengan pelahan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Zodiak Beruntung Tanggal 10 April 2025: Cinta Pisces yang Menggoda

Bolehkah Lakukan Puasa Syawal Sebelum Lunasi Utang Ramadan? Begini Penjelasan Ustadz Khalid Basalamah

5 Destinasi Tersembunyi di Cianjur yang Patut Dikunjungi: Dari Pantai Jayanti hingga Curug Cikondang