Bintang Mahaputra: Guru Berpengalaman yang Menginspirasi Melalui Perjuangan
.JAKARTA – Tahun 2010 merupakan momen istimewa untuk komunitas Alkhairaat. Pada periode tersebut, pihak pemerintahan menghadiahkan gelar Bintang Mahaputra Adipradana kepada pendirinya, Habib Idrus bin Salim Aljufri, sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 53/TK/2010 yang diteken oleh mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Apa alasan Habib Idrus menerima penghargaan?
Jawaban dari pertanyaan tersebut akan menjadi lebih lengkap apabila kita mengikuti jejak karirnya.
Kelahiran dan keluarga
Putra Habib Salim dilahirkan dalam kondisi kurang ideal. Tahun 1891, waktu ia datang ke dunia, merupakan periode penuh tantangan. Saat itu, Hadhramaut masih dikuasai oleh Kekhanahan Utsmaniyah. Kesultanan tersebut tengah memasuki fase penurunan hingga meredup. Ditambah dengan Perang Dunia Pertama yang terjadi pada masa itu. Berbagai negara memperlihatkan superioritas militer mereka melalui konflik bersenjata, serbuan bom, serta kerusakan tanpa mempedulikan jumlah korban jiwa yang mungkin timbul.
Pada pertarungan kekuatan tersebut, Kekaisaran Ottoman mengalami kekalahan dan secara resmi dibubarkan tahun 1922. Daerah di bawah kendali mereka kemudian menjadi incaran beberapa negara Eropa. Hadhramaut, sebagian dari wilayah Yaman, berubah menjadi koloni Britania Raya.
Hb Idrus berkembang pesat pada zaman serba susah seperti itu. Zaman kolonial yang membebani. Ayahnya, Hb Salim adalah seorang qadhi atau hakim dari Kesultanan lokal. Beliau dipercaya sebagai acuan bagi Kesultanan, figur penting, serta warga biasa untuk menyelesaikan bermacam masalah yang timbul.
Ayah menurunkan warisan nama baik dari kakeknya, yakni Habib Alwi bin Saqqaf Aljufri, seorang imam yang sangat dihormati serta ulama ternama di Hadhramaut. Fatwa-fattawa si imam tersebut dicatat secara tertulis dalam Bughyatul Mustarsyidin Karya Al Allamah Hb Abdurrahman bin Muhammad Al Masyhur.
Walaupun bermukin di Hadhramaut, Hb Salim sempat berkunjung ke Sulawesi. Kedua wilayah ini terpisah oleh Samudra Hindia, Pulau Sumatera, dan Kalimantan pada tahun 1878. Dia kemudian melanjutkan perjalananannya hingga ke Sengkang Wajo guna menyebarkan agamanya. Setelah itu, ia pun menikah dengan seorang wanita bernama Syarifah Nur Aljufri. Dari perkawinan mereka lahir enam orang anak. Anak kelima dari urutan tersebut adalah Hb Idrus.
Biasanya menjelajahi dan memimpin sekolah
Sejak muda, cucu Hb Alwi tersebut telah melihat bapaknya kerapkali menasihati banyak orang, termasuk mereka yang memiliki pengaruh besar. Selanjutnya ia pun aktif dalam pengajian, mempelajari ilmu agama, membaca kitab suci Turath, bersholawat, serta menjalankan semua kewajibannya terhadap hubungan dengan Tuhan dan sesama manusia.
Agar memiliki kedamaian dan konsentrasi dalam belajar, bapaknya menyediakan sebuah ruangan terpisah di Masjid Ibn Shalah. Di tempat itu ia mengkaji beragam bidang pengetahuan seperti tauhid, tafsir, hadits, fiqih, tasawuf, mantiq, nahwu dan sharaf, falaq (astronomi), serta adab (sastra). Dia mendapatkan pendidikan ini dari sang ayah beserta dengan para ulama ternama Hadhramaut saat itu; yang termasuk diantaranya ialah Habib Muhsin bin Alwi Assegaf, Habib Abdurahman bin Alwi bin Umar Assegaf, Habib Muhammad bin Ibrahim Bilfaqih, Habib Abdullah bin Hasan bin Sholeh Al-Bahr, dan Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi.
Setiap harinya, Hb Salim semakin merasakan pertumbuhan putranya menjelma menjadi seorang pemuda yang tangguh. Ketika dia menilai bahwa Idrus telah cukup dewasa untuk menghadapi petualangan panjang, bapak tersebut memutuskan untuk membawanya haji. Perjalanan mereka dimulai dari Hadhramaut ke arah Mekkah—yang pada masa itu dikenal dengan nama Hijaz. Kedua insan ini tidak sekedar tinggal disana dalam waktu singkat; durasi keenam bulannya adalah periode pembelajaran mendalam bagi mereka. Di tempat suci tersebut, mereka aktif ibadah dan belajar langsung di bawah asuhan beberapa guru agama setempat. Kesemua pengalaman tersebut turut mencetak identitas Hb Idrus sebagai sosok bijaksana dan cerdas. da’i , bahkan ‘arif .
Di luar perjalanan mereka ke Hijaz, kedua saudara tersebut juga menyeberang melalui Samudra Hindia hingga sampai di Nusantara: Sulawesi guna merayakan tempat asal-usul ibunya. Mereka juga tiba di Jawa. Di pulau itu, ia menyebarkan agama dan hadir dalam beberapa ceramah. Setelah itu, ia kembali lagi ke Hadhramaut.
Hingga tiba di kota tempat ia dilahirkan, Hb Salim mendirikan sebuah madrasah. Di sinilah Idrus bergabung sebagai asisten. Suatu hari sang bapak meninggal dunia. Setelah itu, Idrus yang telah berkembang menjadi seorang muda terdidik dan penuh ilmu, menempati peran sang ayah dalam menjalankan lembaga tersebut. Dari situ lahir cikal bakal Alkhairaat yang kemudian mencetuskan konsep sistem pendidikan Alkhairaat di Palu.
Selama proses pendidikan anak-anak dan pemuda, Idrus menemui tantangan besar akibat penindasan oleh kolonialisme Inggris yang sangat mempersulit aktivitas dakwah. Ziarah agama seringkali dicekal, para ulama ditekan, dan praktik pengajaran Islam menjadi semakin terbatas. Dengan demikian, hal ini mendorongnya untuk bepergian ke Mesir guna membicarakan tentang keterjajahan Inggris di Yaman. Akan tetapi, saat sedang bersiap-siap melanjutkan perjalanan menuju negeri asing itu, ia justru diringkus pihak intelijen Inggris. Akhirnya, dia dipaksa meninggalkan Hadramaut. Sehubungan dengan situasi tersebutlah, beliau kemudian bermigrasi ke Nusantara.
Sampai di Nusantara
Untuk Hb Idrus, konsep Nusantara bukan sesuatu yang baru. Sang ibunda berasal dari Sulawesi, sehingga ia telah terpapar dengan budaya tersebut sejak kecil. Selain itu, dirinya juga sudah memiliki pengalaman mengunjungi tempat-tempat di nusantara sebelumnya. Oleh karena itu, kedatanganannya di beberapa wilayah tak lagi menjadi hal aneh baginya. Awalnya, Hb Idrus mendarat di Pulau Jawa dimana ia menjajakan dagangannya di kota-kota seperti Pekalongan dan Jombang.
Banyak umat Muslim di Pulau Jawa saat itu telah mendengar tentang aktivitas Hb Idrus di sana. Mereka juga menyadarai pengetahuannya yang sangat luas. Cerita tentang Hb Idrus sebagai putra dari seorang Qadhi serta warisan terpuji dari sang kakek dan neneknya, menjadikan dirinya sosok yang dipersembahkan oleh banyak pihak. Kewajiban Hb Idrus adalah mengajar dan mensyiarkan ilmunya bagi masyarakat agar dapat membantu dalam pembangunan negara tersebut. Itulah gambaran yang sering dibicarakan orang-orang mengenai putera Hb Salim bin Alwi Aljufri ini.
Saat Rabithah Alawiyah membangun sebuah sekolah di Solo, sosok Hb Idrus lah yang terkenal. Dia dipanggil ke tempat tersebut sebagai guru pengajar. Kemudian, lembaga pendidikan ini mulai dikenali publik secara luas. Kehadiran ulama ternama itu seperti daya tarik kuat bagi banyak orang ingin belajar disana.
Mendirikan Alkhairaat
Akan tetapi, tempat tersebut bukanlah di mana Hb Idrus semestinya menyebarkan dakwahnya. Seseorang dengan pengaruh besar memberi ceramah dan menyarankan kepada cucu Hb Alwi itu agar menyebarkannya di daerah terpencil. Oleh karena itu, ia pun pergi ke arah Palu, Sulawesi Tengah.
Di tempat itu, dia telah diharapkan oleh masyarakat yang merindukannya. Mereka adalah umat Muslim yang mencari bimbingan ulama guna meningkatkan dakwah Islam mereka. Persiapan tanah pun dilakukan bagi didirikannya sebuah sekolah. Melalui kolaborasi beberapa kelompok, Akhlaqur-Raiyat akhirnya terbentuk pada tahun 1930.
Tidaklah sederhana untuk menjalankan dakwah pendidikan pada masa tersebut. Pasalnya, mereka harus bertemu dengan kolonial Belanda dan Jepang. Lebih-lebih lagi situasi ekonomi saat itu sangat sulit. Akan tetapi, Hb Idrus begitu yakin dapat mendukung ekonomi Alkhairaat. Dengan usaha keras dan pasrah kepada Tuhan, ia menjadi pemimpin utama dalam membangkitkan dan mendorong pertumbuhan ekonomi Alkhairaat sekaligus menjamin kelangsungan pengajaran dan gaji para guru.
Apakah ada biaya yang dikenakan kepada murid dan santri di Alkhairaat saat itu?
Menurut penguraian Sayid Zen bin Umar Smith dalam bukunya 'Sang Mutiara', layanan ini tanpa biaya. Sistem manajemen pendidikannya mengacu pada model madrasah di wilayah Arab. Setiap orang yang ingin belajar diperbolehkan untuk bergabung selama mematuhi peraturan yang berlaku.
Pendidikan dan cinta
Hal yang mencolok dari pendekatan pengajaran Hb Idrus ialah, ia tidak hanya berfokus pada penyebaran ilmu, tetapi juga tentang cinta. Cinta terhadap sesama manusia dan persaudaraan. Melalui prinsip ini, setiap individu diharapkan untuk saling menghargai serta memperkuat satu sama lain. yasyuddu ba’dhuhum ba’dha ).
Dalam majelis, ia adalah seorang guru yang menyampaikan pengetahuan. Akan tetapi di luar majelis, ia berperan sebagai orang yang menyelesaikan berbagai permasalahan dalam kehidupan masyarakat. Selain itu, ia juga bekerja sebagai pedagang dengan labanya dialokasikan untuk mendukung kelangsungan Alkhairaat.
Untuk Hb Idrus, uang tidaklah penting semua. Bila ada pihak yang sangat memerlukan bantuan, dia akan menjadi orang pertama yang menawarkan pertolongan kepada mereka. Kebiasaan memberikan sesuatu telah menjadi rutinitasnya setiap hari.
Pesan dakwahnya disampaikan dengan kata-kata yang mudah dimengerti agar bisa diterima oleh kalangan umum. Ketulusan sang pemuka dalam menyebarkan ajaran Islam tampak jelas dari keberhasilannya, yakni meskipun hanya memakai Bahasa Indonesia (yang saat itu populer sebagai Bahasa Melayu) secara terbatas, dia berhasil membujuk serta memberi pembelajaran mendalam hingga dapat diterima oleh publik. Meski memiliki agenda harian yang penuh sesak, sebagaimana layaknya guru, ia masih sempat untuk mengajar di Madrasah Alkhairaat.
Waktunya sangat barokah Setiap menit yang dijalani takkan terbuang percuma demi hal-hal tanpa manfaat. Tuhan Yang Maha Esa telah mengurniakannya dengan anugerah berlimpah berupa kebijaksanaan, keterampilan dalam menyusun kalimat yang memesona serta keteguhan hati melawan kolonialisme dan memperjuangkan pendidikan Islam layaknya cikal bakal baginda Rasulullah SAW.
Penggubah syair
Sebagai penulis puisi, karyanya mampu menenangkan jiwa, seperti aliran air segar yang meresap ke dalam hati setiap orang yang mendengarnya. Kadang-kadang dia menggunakan puisinya sebagai sarana kritik terhadap masalah sosial atau untuk memotivasi serta membakari semangat pemuda agar bergabung dengan pahlawan lain dalam perjuangan mencapai kemerdekaan bangsa ini.
Di tahun 1933 M, pihak pemerintahan Hindia Belanda merilis sebuah regulasi yang menyatakan bahwa murid-murid dari Alkhairaat harus membayarkan pajak kepada rezim kolonis. Setelah aturan ini diberlakukan, segera saja ribuan pelajar melakukan protes di hadapan kantor pajak dengan tujuan untuk mendapatkan pembatalan atas undang-undang tersebut. Rezim penjajah Belanda sangat prihatin karena takut demonstrasi semakin menjalar dan bisa menciptakan gangguan terhadap stabilitas sosial. Sebagai respons, otoritas akhirnya setuju dengan permintaan mereka. Syukurlah, implementasi sistem pengenaan pajak pun urung dilaksanakan.
Pada tanggal 8 Desember 1941 M Perang Pasifik dimulai. Setelah itu, pada 11 Januari 1942, pasukan Jepang mengambil alih Manado dan menjadikannya markas militernya di wilayah Timur Indonesia. Tak berapa lama setelahnya, kekuatan militer Jepang juga merebut Palu dan menyatakan bahwa Madrasah Alkhairaat harus tutup.
Selama masa penjajahan Jepang, Habib Idrus tak cukup hanya bersikap pasif atau menerima tanpa perlawanan. Dia masih melanjutkan aktivitas pengajaran namun dengan cara diam-diam. Tempat pembelajaran digeser ke desa Bayoge yang berjarak sekitar 1,5 kilometer dari tempat asli Madrasah Al-Khairaat.
Proses pembelajaran dijalankan pada waktu malam hari sambil memakai cahaya lilin untuk menerangi. Siswa-siswi tiba secara bergantian supaya tidak mencolok perhatian. Metode pengajaran seperti itu bertahan sepanjang masa penjajahan Jepang yang berlangsung selama 3,5 tahun.
Saat Jepang dikalahkan dalam Perang Dunia II dan kemudian meninggalkan tanah Indonesia, Madrasah Alkhairaat akhirnya diresmikan kembali pada tanggal 17 Desember 1945. Habib Idrus bin Salim menjadi pembacanya saat upacara peluncuran sekolah ini serta merayakan kedaulatan negara lewat puisi cantiknya. Di bagian awal puisinya yang berisi kalimat-kalimat Arab, terdapat ekspresi rasa bersyukur dan gembira.
Bendera si El Zerfervi berkibar di langit atas ** tanahnya yang hijau dan gunung-gununya berwarna hijau. (Perlu diperhatikan bahwa bagian '**' mungkin merupakan kesalahan ketik atau format khusus dalam teks asli; kontennya tidak dimodifikasi.)
Berayunlah sanggul kehormatan di langit # Tanah serta pegunungan yang as Hijau
Sesungguhnya hari ketika bintang itu muncul adalah hari yang sangat panas; para ayah dan anak-anak mengagumi kehebatannya.
Betul! Hari kebangkitannya merupakan hari penuh kegembiraan # dihormatinya bersama orang tua dan anak-anak.
Setiap tahun hari ini memiliki kenangan ** rasa syukur dan pujian selalu terucap setiap kali memperingatinya.
Setiap tahun pada tanggal tersebut selalu dijadikan sebagai momen untuk mengungkapkan rasa terima kasih serta doa yang dipanjatkan.
Setiap bangsa memiliki simbol kehormatan, dan simbol kehormatan kita adalah anggur putih merah muda. Note: There seems to be an error in your original phrase as "الخبضاء" does not seem correct; I interpreted this part based on common phrases but please verify for accuracy. The provided translation aimed at maintaining the overall poetic structure and message of the sentence you've shared.
Setiap negara mempunyai lambang kehormatan # Lambang kehormatan kita adalah warna merah dan putih
Ya'asurna selamat datang di antara kami, semoga berkah mengiringi Anda. Dengan kehadiranmu, penyakit yang menjangkiti kita pun lenyap.
Hai Sukarno. Kaulah yang membawa kebahagiaan dalam hidup kami, dan bendera kemuliaan kami berwarna merah dan putih. #
Wahai Presiden yang Terhormat di Antara Kami ** Hari Ini Anda Memiliki Ilmu Pengetahuan bagi Dunia
Halo Presiden yang membawa berkat bagaimari# kau seperti zat kimia bagi rakyat hari ini
Dengan pedang dan politik kau kuatkan, Dan dengan ini pun kabar keberhasilan terdengarkan.
Melalui tinta dan strategimu, kau berhasil meraih keunggulan # kabar bahagia pun sampai dengan kemenangan mu tersebut sudah terdengar
Jangan pedulikan diri sendiri dan anak-anakmu, di jalan tanah air, pengorbanan adalah hal yang mulia.
Jangan khawatirkan jiwa serta anak-anak # demi tanah air betapa memesonnya harganya
Menghargai waktu untuk belajar
Habib Idrus merupakan seorang ulama yang amat memperhatikan pentingnya waktu untuk menuntut ilmu. Pada suatu hari di tahun 1966, dia beserta kedua orangtuanya, juga didampingi oleh dua pelajarnya lainnya melakukan perjalanan ke Kulawi, sebuah tempat yang terletak kira-kira 70 Kilometer jauhnya dari Palu.
Pada saat sedang dalam perjalanan, ban kendaraan tempat Habib Idrus naik tiba-tiba rusak. Beliau pun turun dari kendaraan dan bertanya pada sang pengemudi tentang perkiraan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki mobil tersebut. Pengemudi itu merespons, "Sekitar 30 menit." Tanpa ragu, dia segera membawa tikar plastik dan meletakkannya di pinggiran jalan. Setelah itu, ia meminta salah satu muridnya untuk mulai mengaji kitab-kitab suci.
Habib Idrus bin Salim juga kerap melaksanakan perjalanan ke Jawa, yang merupakan tempat asalnya saat berpindah ke Indonesia. Tiap kali bulan Ramadhan tiba, ia biasanya menggunakan waktu tersebut untuk memberikan ceramah di Pekalongan, kota pertama tempat dirinya tinggal setelah datang dari Hadhramaut.
Di kotanya batik tersebut terdapat saudaranya yakni Al-Habib Abubakar Al-Jufri. Tiap hari setelah ashar ketika sedang berpuasa Ramadan, dia memberikan pengajaran di sebuah mesjid wakaf yang beralamatkan di Jalur Surabaya, Kampung Arab; tempat itu dikenalnya lewat pembacaannya serta penjabaran dari kitab-nya. An-Nashaih Ad-Diniyah dan Pesan-pesan untuk Keimanan Karya al-Imam Abdullah bin Alwi Al-Haddad. Sesuai dengan tradisi, majlis ta'lim ini rutin disambut oleh jemaah baik dewasa maupun anak muda yang berasal dari beragam daerah di seputaran Kota Batik.
Keberadaan Habib Idrus di Pekalongan saat bulan Ramadhan senantiasa dinanti oleh banyak orang meskipun hanya terjadi satu kali setahun. Sesudah perayaan Idul Fitri, ia akan kembali ke Palu guna menyebarkan agama dan mengembangkan organisasi Alkhairaat.
Akhir hayat
Hidup Habib Idrus bin Salim Al-Jufri penuh dengan kesibukan setiap harinya, meski telah lanjut usia, tekad dakwahnya tak pernah surut. Kondisi tersebut turut memengaruhi kondisinya secara fisik. Beliau kerap mengalami masalah dengan lambungnya. Mungkin karena dalam rangkaian dakwahnya dia terlalu sibuk hingga lupa makan, hal itu membuat suatu ketika pada tahun 1969 ia pun jatuh sakit parah dan harus dirujuk ke Jakarta atas arahan keluarga untuk mendapatkan pengobatan. Usai pemulihan, ia dikembalikan lagi ke Palu. Begitu tiba di tempat tinggalnya, beliau minta agar dibuatkan satu ruangan di samping kirih Masjid Alkhairaat, tepat bersebelahan dengan area mimbar Imam atau kiblat.
Belum lama berselang, tepatnya ketika Ramadhan berlangsung menuju hari raya Idul Fitri, kondisi kesehatannya mulai pulih. Kemudiannya, ia pun datang ke Masjid Nur guna bertugas sebagai imam dalam salat Idul Fitri. Di sana, Habib Idrus turut serta membawa sejumlah uang milik pribadiya. Setelah menyelesaikan ibadah salat, dia membagikan seluruh uang tersebut kepada para fakir miskin dan butuh bantuan lainnya yang ikut hadir di masjid tersebut sampai tuntas. Kesempatan itu juga dipergunakannya untuk menyatakan niat wakaf atas rumah tinggalnya beserta dengan madrasah Alkhairaat demi manfaat ummat Muslim di Kota Palu. Tentu saja hal ini baru terlaksana sesuai dengan ijin ahli warisnya.
Beberapa waktu setelah Hari Raya Idul Fitri, tepatnya pada tanggal 12 Syawal tahun 1389 Hijriah yang bersesuaian dengan 22 Desember 1969 pukul 02:40 dini hari, Sang Guru Besar menjawab Panggilan Tuhan Yang Maha Esa di sisi Abdul Wahab Muhaimin, seorang murid terdekatnya.
Walaupun sudah dikuburkan, Hb Idrus seolah masih menemaninya masyarakat lokal. Meskipun jasadnya tidak lagi ada, rohanynya tetap mengawasi kemajuan negara kita.
Nama beliau dipakai sebagai nama Bandar Udara di Palu, yaitu Mutiara Sayid Idrus bin Salim Aljufri atau sering disebut juga sebagai Mutiara SIS Aljufri. Nama ini pun digunakan untuk beberapa jalanan setempat. Banyak warga memajang fotonya dalam berbagai tempat dan menghiasi dinding-dindingnya bersama dengan gambar pemimpin nasional mereka.
Selalu ada keinginan terhadap Hb Idrus yang membuat banyak orang senantiasa mendoakannya saat mengadakan berbagai macam majelis. Acara haul-nya biasanya dilaksanakan antara pertengahan hingga akhir bulan Syawalk. Ribuan manusia berkumpul guna mengekspresikan kasih sayang mereka terhadap Hb Idrus, si permata dari bagian Timur Indonesia.
Komentar
Posting Komentar